Pages

Internet Unlimited Ditinjau Dari Syariat Islam



Pertanyaan:

Ada sebuah perusahaan penyedia jasa layanan internet menetapkan biaya bulanan yang konstan, baik dalam sebulan tersebut hanya dipakai selama satu jam saja atau sepanjang bulan tanpa henti.

Bolehkah biaya bulanan semacam ini? Ataukah seharusnya besaran biaya itu disesuaikan dengan lamanya penggunaan?

Jawaban:

Adanya biaya bulanan yang konstan hukumnya boleh meskipun pada realitanya Anda menggunakan internet selama 24 jam sehari atau hanya sejam setiap harinya atau bahkan malah tidak pernah sama sekali. Karena transaksi yang terjadi adalah transaksi ijarah (jual jasa) untuk bisa menggunakan fasilitas internet selama satu bulan. Dalam ijarah tidaklah disyaratkan penyewa memanfaatkan fasilitas yang dia sewa secara maksimal. Transaksi sewa sah manakala penjual jasa telah memberi kesempatan selebar-lebarnya kepada penyewa untuk bisa memanfaatkan fasilitas yang telah disewa.

Dengan demikian, penyewa berkewajiban membayar uang sewa meski ternyata penyewa sama sekali tidak memanfaatkan fasilitas. Tidak ubahnya dengan seorang yang menyewa atau mengontrak sebuah rumah lalu dia diberi kesempatan untuk menghuninya, namun dia tidak menghuninya. Atau juga seperti orang yang menyewa mobil lantas tidak menggunakannya dst.

Ketika menjelaskan kapankah upah sewa wajib dibayarkan, penulis buku fiqh Hanbali, Manar as Sabil 1:294 mengatakan, “Dengan berakhirnya masa sewa jika transaksi sewa menyewakan berlaku dalam rentang waktu tertentu, lalu barang yang disewakan telah diserahkan kepada penyewa dan tidak ada faktor penghalang untuk memanfaatkannya meski ternyata pada realitanya pihak penyewa tidak memanfaatkannya sama sekali.” Beliau juga mengatakan, “Jika masa sewa berakhir dan yang dimaksud dengan masa sewa adalah rentang waktu yang memungkinkan bagi penyewa untuk memanfaatkan barang yang dia sewa namun ternyata penyewa sama sekali tidak memanfaatkannya maka biaya sewa wajib dibayarkan semisal menyewa hewan tunggangan untuk dinaiki dalam rangka pulang pergi ke suatu tempat, hewan tunggangan tersebut telah diserahkan kepada penyewa dan waktu yang diperlukan untuk pulang pergi ke tempat tersebut dengan tolak ukur kebiasaan telah berakhir namun ternyata penyewa sama sekali tidak menggunakannya.”

Namun permasalahan ini juga perlu ditinjau dari sudut pandang yang lain yaitu kita diperintahkan untuk menjaga harta jangan sampai terbuang percuma. Oleh karena itu, jika Anda tidak memiliki kebutuhan untuk mengakses internet dalam jangka waktu yang lama sehingga bisa lebih menghemat uang dengan menggunakan fasilitas internet yang menggunakan patokan lamanya pemakaian maka itulah yang lebih utama dan lebih baik meski kecepatan akses lebih lambat. Demikian adanya fasilitas akses internet unlimited dengan biaya yang tetap setiap bulannya telah mendorong sebagian orang untuk mengakses internet dalam waktu yang lama. Padahal tidak ada kebutuhan mendesak untuk itu maka tindakan semacam ini adalah bentuk buang-buang harta dan buang-buang waktu yang lebih penting dari pada harta. Sehingga perbuatan ini sepatutnya diwaspadai.

Dari Abu Barzah Al-Aslami, Rasulullah bersabda,

لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ

Tidaklah bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai ditanya mengenai umurnya untuk apa saja dia habiskan, tentang ilmu agama yang dia miliki apakah telah diamalkan, tentang hartanya dari manakah didapatkan dan dibelanjakan untuk keperluan apa saja dan mengenai badannya untuk kegiatan apa saja dia berlelah-lelah” (HR. Tirmidzi, no. 2417 dinilai sahih oleh Al-Albani).

Referensi: http://www.alsalafway.com/cms/fatwa.php?action=fatwa&id=261, http://pengusahamuslim.com/tinjauan-syariah-internet-unlimited-1337

Publishartikelassunnah.blogspot.com

Hukum Shalat Jum’at di Kapal

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Sebagian pekerja laut atau pekerja off-shore sering kebingungan untuk melaksanakan shalat Jum’at. Apakah mereka mesti mendirikan jama’ah Jumatan di kapal? Di beberapa kapal PELNI yang kami temui, mereka tetap menjalankan shalat Jum’at. Hal ini perlu ditinjau ulang dilihat dari sudut pandang fikih, karena tidak bisa kita asal-asalan dalam beragama.
Dalam fatwa islamweb.net (Asy Syabakah Al Islamiyah), disebutkan mengenai masalah ini. Ada pertanyaan:
“Saudaraku yang kami cintai karena Allah. Kami adalah para pemuda muslim yang bekerja di pertambangan minyak yang berada di lepas pantai. Kami keseharian berada di atas kapal, namun kapal tersebut tidak bergerak, hanya diam di tempat. Kami pun menjalankan shalat Jum’at di kapal tersebut. Namun ada orang yang mengatakan bahwa shalat Jum’at bagi kalian tidaklah sah. Dari situ, kami tidak lagi melaksanakan shalat Jum’at. Akan tetapi kami sangat mengharapkan fatwa dari Anda untuk memberikan penjelasan hukum syar’i tentang masalah kami ini. Apakah kami wajib mendirikan shalat Jum’at ataukah tidak? Perlu diketahui bahwa kami bekerja bergiliran. Masa kerja per orang antara satu minggu hingga enam minggu. Setelah itu, kami boleh mengambil cuti libur selama dua sampai enam minggu. Setelah cuti berakhir, kami pun kembali bekerja. Kami sangat berharap penjelasan akan hal ini. Semoga Allah berkahi dan membalas amalan kalian.
Jawaban: Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada Rasulullah, keluarga dan sahabatnya. Amma ba’du:
Tidaklah sah mendirikan shalat Jum’at di kapal walaupun kapal tersebut tidak berlayar, karena kapal bukanlah suatu negeri (kampung). Di antara syarat sah shalat Jum’at, shalat tersebut dilakukan di kota, desa, atau suatu tempat semacam itu. Jika shalat Jum’at tidak wajib atas kalian, maka sebagai gantinya adalah kalian mengerjakan shalat Zhuhur. Wallahu a’lam.[1]
***
Syarat yang disebutkan di atas adalah syarat diwajibkan dan syarat sahnya Jum’at. Sehingga jika syarat di atas tidak dipenuhi, shalat Jum’atnya tidaklah sah.[2] Dengan demikian, para pekerja kapal, penumpang kapal dan pekerja off-shore tidak sah shalat Jum’at jika dilakukan di kapal. Sebagai gantinya adalah mengerjakan shalat Zhuhur (dua raka’at bagi musafir karena di-qashar). Jika ada shalat Jum’at di daratan, ia pun tidak wajib menghadirinya karena ia bukanlah orang yang nomaden (menetap di negeri), ia adalah musafir. Namun jika ia tetap pergi shalat Jum’at di daratan, shalat jum’atnya sah. Sebagaimana musafir yang shalat jum’at, shalatnya pun sah.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad. Walhamdulillah, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad, wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.

@ Ummul Hamam, Riyadh KSA, 22 Dzulqo’dah 1432 H (20/10/2011)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id


[2] Lihat fatwa Islamweb.net mengenai syarat diwajibkan dan sahnya Jum’at pada link:
http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&lang=A&Id=7637

Panutan Penyesat Umat


Tulisan ini untuk setiap manusia yang menjadi panutan orang banyak…
Tulisan ini untuk setiap makhluk yang setiap perkataan dan perbuatannya diikuti orang banyak…
Tulisan ini untuk setiap manusia yang menjadi trend made orang banyak…
Tulisan ini tertulis untuk umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak menjadikan seorang sebagai panutan yang menyesatkan mereka dari jalan Allah Ta’ala, panutan yang sebenarnya hanyalah pembawa ke jalan syetan, jalan neraka. Nau’dzubillah.
Tulisan ini ditulis ketika saking banyaknya panutan, tapi menyesatkan umat dari Jalan Allah Ta’ala, baik dengan melakukan:
  • Kesyirikan dengan istighotsah dan tawassulnya kepada orang-orang yang sudah mati.
  • Kesyirikan dengan mengambil barokah dari dzatnya orang-orang shalih.
  • Sarana penyebab kesyirikan dengan mencari-cari hari baik untuk pernikahan atau hajat,…dan lain-lain.
  • Bid’ah dengan amalan-amalan dan shalawat-shalawat yang tidak pernah ada di zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  • Bid’ah dengan pembacaan dzikir-dzikir yang dikhususkan tempatnya, waktunya, keadaannya, jumlah bilangannya yang tidak pernah dikhususkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  • Maksiat dengan ta’arufnya padahal itu pacaran.
  • Maksiat dengan bersalaman dengan wanita bukan mahram padahal larangan dan keharamannya jelas.
  • Maksiat dengan tidak menjaga pandangan, meluaskan pandangan kepada wanita yang setengah telanjang.
  • Maksiat dengan berkumpul dengan wanita-wanita bukan mahram tanpa ada penutup, bahkan wanitanya memakai pakaian yang tidak pantas dilihat kecuali oleh suaminya.
  • Dan perbuatan dosa lainnya.
Takutlah kepada Allah Ta’ala jika Anda menjadi panutan orang banyak dalam dosa dan maksiat, karena Anda akan:
1)   Menjadi orang sangat dikhawatirkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihin wa sallam atas umatnya.
Intinya, Anda adalah orang sangat berbahaya bagi umat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ قَالَ: قَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (إِنِّي لَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي إِلَّا الْأَئِمَّةَ الْمُضِلِّينَ وَإِذَا وُضِعَ السَّيْفُ فِي أُمَّتِي لَمْ يُرْفَعْ عنهم إلى يوم القيامة)
 Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,“Sesungguhnya aku tidak takut atas umatku kecuali para pemimpin yang menyesatkan, dan jika diletakkan pedang pada umatku, maka tidak akan diangkat dari mereka sampai hari kiamat”. (HR. Ibnu Hibban dan dishahihkan di dalam kitab Silsisilah Al Ahadits Ash Shahihah, no. 1582)
Makna pemimpin:
1.  Para pemimpin negara yang sesat dan para ulama yang menyesatkan.
والمراد بقوله: “الأئمة المضلين”: الذين يقودون الناس باسم الشرع، والذين يأخذون الناس بالقهر والسلطان; فيشمل الحكام الفاسدين، والعلماء المضلين، الذين يدعون أن ما هم عليه شرع الله، وهم أشد الناس عداوة له.
Yang dimaksud “الأئمة المضلين” adalah orang-orang yang menuntun manusia dengan membawa nama syariat, dan orang-orang yang membawa manusia dengan kekuasaan, dan termasuk mereka ini adalah para pemimpin negara yang rusak dan para ulama yang menyesatkan, orang-orang yang mengklaim bahwa apa yang mereka lakukan adalah syariat Allah padahal mereka adalah orang yang paling keras permusuhannya terhadapnya (syariat Allah) (Lihat kitab Al Qaul Al Mufid ‘Ala Kitab At Tauhid, karya Syaikh Ibnu Utsaimin).
2.  Para pemimpin kekuasaan, para ulama, para ahli ibadah yang menyesatkan.
“الأئمة”,  aimmah adalah jamak (bentuk plural) dari imam. Imam berarti panutan yang diikuti baik dalam kebaikan atau keburukan.
Jika panutan dari orang-orang yang sesat maka umat akan tersesat, dan terjadi di tengah-tengah mereka akan muncul keburukan, dan mereka yang dimaksudkan adalah para pemimpin negara yang sesat, para ulama yang sesat, para ahli ibadah yang sesat, dan para ahli dakwah yang sesat. Setiap dari mereka adalah para pemimpin yang sesat, jika umat dituntun oleh mereka maka mereka akan menuntun kepada kebinasaan. Adapun jika yang menuntun umat adalah para penyeru kebenaran maka mereka akan menuntun umat kepada kebaikan dan keselamatan (Lihat kitab I’anat Al Mustafid bi Syarh Kitab At Tauhid, karya Syaikh Shalih Al Fauzan).
 Mari perhatikan beberapa pernyataan yang sangat bermanfaat di bawah ini:
Bahwa para pemimpin itu ada tiga jenis: umara (pemimpin negara), ulama (para ahli ilmu agama), ‘ubbad(para ahli ibadah).  Mereka inilah yang ditakutkan akan mudah menyesatkan orang lain karena mereka adalah orang-orang yang diikuti. Para umara, mereka memiliki kekuasaan dan pelaksanaan. Para ulama mereka memiliki penyuluhan dan pendidikan. Sedangkan para ahli Ibadah mereka kadang menipu dengan keadaan mereka. Merekalah orang-orang yang ditaati dan jadi panutan, maka pengaruh mereka sungguh amat mengkhawatirkan. Karena jika mereka sesat maka mereka akan menyesatkan kebanyakan manusia. Namun, jika mereka mendapat petunjuk pada kebaikan, maka banyak orang akan ikut mendapat petunjuk (Lihat kitab Al Qaul Al Mufid, karya Syaikh Ibnu Utsaimin).
Seorang yang berilmu yang diikuti dan dipandang dengan mata keshalihan, jika mengerjakannya (shalat-shalat bid’ah), maka jelas akan memberikan kerancuan terhadap orang awam bahwa hal tersebut adalah termasuk sunnah, jadilah dia seorang yang berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamdengan perbuatannya, yang terkadang bisa jadi penyebab langsung ia berdusta atas nama Rasulshallallahu ‘alaihi wa sallam. Kebanyakan manusia melakukan bid’ah dengan sebab ini. Mereka mengira orang yang mereka ikuti termasuk orang berilmu dan bertakwa. Padahal dia bukan orang seperti itu. Lalu mereka memperhatikan perkataan dan perbuatannya. Kemudian mereka mengikutinya dalam hal tersebut dan akhirnya rusaklah keadaan mereka.
Di dalam hadits riwayat Tsauban radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,“Sesungguhnya termasuk yang kukhawatirkan atas umatku adalah para pemimpin yang menyesatkan”. (HR. Ibnu Majah dan At Tirmidzi dan beliau mengatakan: “Hadits ini adalah hadits yang shahih”)
Dan di dalam kitab Ash Shahih, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu tiba-tiba, tetapi mencabutnya dengan mewafatkan para ulama, sampai tidak tersisa seorang berilmu. Akhirnya manusia menjadikan orang-orang bodoh (sebagai ulama), akhirnya mereka (orang-orang bodoh tadi) memberi fatwa tanpa ilmu dan mereka menyesatkan”.
Imam Ath Tharthusyi rahimahullah berkata, “Renungkanlah kalian semua hadits ini. Sesungguhnya hadits ini menunjukkan bahwa bid’ah itu tidaklah muncul disebabkan oleh para ulama mereka. Akan tetapi bid’ah muncul ketika wafat ulama-ulama mereka, lalu orang yang tidak berilmu memberi fatwa. Akhirnya muncullah bid’ah dari orang yang tidak berilmu itu.
Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu memindahkan makna ini dengan berkata: “Seorang yang amanah tidak akan pernah berkhianat. Akan tetapi jika diberi amanat, orang yang tidak amanat akan terlihat hidung belangnya (sifat khianatnya)”.  Kita pun dapat mengatakan,“Tidak pernah seorang alim melakukan bid’ah. Akan tetapi orang yang tidak berilmu dimintai fatwa. Lantas dia sesat dan menyesatkan orang lain.”
Dan demikianlah perbuatan Rabi’ah. Imam Malik berkata: “Suatu hari Rabi’ah menangis dengan sekencang-kencangnya ketika ditanya, “Apakah ada musibah yang menimpamu?” Beliau menjawab, “Tidak. Akan tetapi akan ditanya orang yang tidak berilmu maka akhirnya muncul masalah yang amat besar (Lihat Kitab Al Ba’its ‘Ala Inkar Al Bida’, karya Abu Syamah).
 2)   Menanggung dosa seluruh orang yang mengikuti Anda dalam dosa dan maksiat.
Al Mundzir bin Jarir medapatkan riwayat dari bapaknya, beliau meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا كَانَ لَهُ أَجْرُهَا وَمِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا
“Barangsiapa yang mensunnahkan (mencontohkan) kebiasaan yang buruk, lalu diamalkan, maka dia akan menanggung dosanya dan dosa yang mengerjakannya setelahnya, tanpa mengurangi dari dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim dan Ibnu Majah)
 3)   Diadukan kepada Allah Ta’ala oleh orang yang mengikuti Anda di dalam dosa dan maksiat agar Anda mendapat siksa berlipat dan terlaknat, akibat kesesatan yang Anda sebarkan.
Allah Ta’ala berfirman,
{إِنَّ اللَّهَ لَعَنَ الْكَافِرِينَ وَأَعَدَّ لَهُمْ سَعِيرًا (64) خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا لَا يَجِدُونَ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا (65) يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا (66) وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا (67) رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا (68
“Sesungguhnya Allah melaknati orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka)”. “Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; mereka tidak memperoleh seorang pelindung pun dan tidak (pula) seorang penolong”. “Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata: Alangkah baiknya, andai kata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul”. “Dan mereka berkata: “YaRabb kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar)”. (QS. Al Ahzab: 64-68).
Pesan Terakhir
Jadilah manusia yang menjadi kunci kebaikan bukan kunci kesesatan. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhuberkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ مِنَ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلْخَيْرِ مَغَالِيقَ لِلشَّرِّ وَإِنَّ مِنَ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلشَّرِّ مَغَالِيقَ لِلْخَيْرِ فَطُوبَى لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الْخَيْرِ عَلَى يَدَيْهِ وَوَيْلٌ لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الشَّرِّ عَلَى يَدَيْهِ
“Sesungguhnya dari manusia ada yang menjadi kunci kebaikan dan penutup keburukan. Juga ada manusia yang menjadi kunci keburukan dan menjadi penutup kebaikan. Bahagialah orang yang telah Allah anugerahkan ia sebagai kunci kebaikan melalui tangannya dan celakalah bagi siapa yang telah Allah jadikan baginya kunci keburukan melalui tangannya”. (HR. Ibnu Majah dan dihasankan di dalam kitab Silsilat Al Ahadits Ash Shahihah, no. 1332).
Ahad, 17 Dzulhijjah 1432H, Dammam KSA.
Penulis: Ahmad Zainuddin, Lc (Da’i di Islamic Cultural Center Dammam, KSA)
Artikel www.muslim.or.id