Zakat secara bahasa berarti an namaa‟ (tumbuh), az ziyadah (bertambah), ash sholah
(perbaikan), menjernihkan sesuatu dan sesuatu yang dikeluarkan dari pemilik untuk menyucikan
dirinya.
Fithri sendiri berasal dari kata ifthor, artinya berbuka (tidak berpuasa). Zakat disandarkan pada
kata fithri karena fithri (tidak berpuasa lagi) adalah sebab dikeluarkannya zakat tersebut.[1] Ada
pula ulama yang menyebut zakat ini juga dengan sebutan “fithroh”, yang berarti fitrah/ naluri.
An Nawawi mengatakan bahwa untuk harta yang dikeluarkan sebagai zakat fithri disebut dengan
“fithroh”[2]. Istilah ini digunakan oleh para pakar fikih.
Sedangkan menurut istilah, zakat fithri berarti zakat yang diwajibkan karena berkaitan dengan
waktu ifthor (tidak berpuasa lagi) dari bulan Ramadhan.[3]
Hikmah Disyari’atkan Zakat Fithri
Hikmah disyari‟atkannya zakat fithri adalah: (1) untuk berkasih sayang dengan orang miskin,
yaitu mencukupi mereka agar jangan sampai meminta-minta di hari „ied, (2) memberikan rasa
suka cita kepada orang miskin supaya mereka pun dapat merasakan gembira di hari „ied, dan (3)
membersihkan kesalahan orang yang menjalankan puasa akibat kata yang sia-sia dan kata-kata
yang kotor yang dilakukan selama berpuasa sebulan.[4]
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu „anhuma, ia berkata,
ِي َه َف -صلٔ َّللا علَ٘ ّسلن- ْي َر َض َر ُسْ ُل هَّللاِ
َو َسا ِك٘
ْ
ْع َو ًة ِلل
َّال هرَف ِث َّطُ
ِ
ه ْغْ
ِن ِه َي الل
ِْ َرًة ِلل هصاِئ
ْط ِر طُ
ِف
ْ
َز َكاَة ال
ِه َي ال هصَ َ ا ِا
ِِ َٔ َصَ َ ةٌ
ه ا َُا َ ْع َ ال هص َ ِة َف
َ
َّ َه ْي
َةٌ
ُْل
ْ
َه
ِِ َٔ َز َكاةٌ
ه ا َُا َ ْ َ ال هص َ ِة َف
َ
.
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri untuk mensucikan orang yang
berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan miskin.
Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa
yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara
berbagai sedekah.”[5]
Hukum Zakat Fithri
Zakat Fithri adalah shodaqoh yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim pada hari berbuka (tidak
berpuasa lagi) dari bulan Ramadhan. Bahkan Ishaq bin Rohuyah menyatakan bahwa wajibnya
zakat fithri seperti ada ijma‟ (kesepakatan ulama) di dalamnya[6]. Bukti dalil dari wajibnya zakat
fithri adalah hadits Ibnu Umar radhiyallahu „anhuma, ia berkata,
ُح ِّر َف - صلٔ َّللا علَ٘ ّسلن - ، َر َض َر ُسْ ُل هَّللاِ
ْ
َعْ ِ َّال
ْ
َٔ ال
ٍر َعل
ّْ َصا ًعا ِه ْي َش ِع٘
َ
ٍر ،
ْط ِر َصا ًعا ِه ْي َت ْو
ِف
ْ
َز َكاَة ال
َٔ ال هص َ ِة
ل
ِ
ِش
ا
الٌه
ِ
َ ه ٓ َ ْ َ ُ ُرّو
ْى تُ
َ
َِا
ِ
َه َر
َ
ُو ْسِل ِو٘ َي َّ
ْ
ِر ِه َي ال
٘
ِ
َ
ْ
ِر َّال
ْ َ ٔ ، َّال هص ِغ٘
ً
ُ
ِر َّاا
َك
ه
َّالل
”Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri dengan satu sho‟ kurma atau
satu sho‟ gandum bagi setiap muslim yang merdeka maupun budak, laki-laki maupun
perempuan, anak kecil maupun dewasa. Zakat tersebut diperintahkan dikeluarkan sebelum
orang-orang keluar untuk melaksanakan shalat „ied.”[7]
Perlu dipehatikan bahwa shogir (anak kecil) dalam hadits ini tidak termasuk di dalamnya janin.
Karena ada sebagian ulama seperti Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa janin juga wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini kurang tepat karena janin tidaklah disebut shogir dalam bahasa
Arab juga secara „urf (kebiasaan yangg ada). [8]
Yang Berkewajiban Membayar Zakat Fithri
Zakat fithri ini wajib ditunaikan oleh: (1) setiap muslim karena untuk menutupi kekurangan
puasa yang diisi dengan perkara sia-sia dan kata-kata kotor, (2) yang mampu mengeluarkan zakat
fithri.
Menurut mayoritas ulama, batasan mampu di sini adalah mempunyai kelebihan makanan bagi
dirinya dan yang diberi nafkah pada malam dan siang hari „ied. Jadi apabila keadaan seseorang
seperti ini berarti dia dikatakan mampu dan wajib mengeluarkan zakat fithri. Orang seperti ini
yang disebut ghoni (berkecukupan) sebagaimana sabda Nabi shallallahu „alaihi wa sallam,
ِر
ا
ْ ِ ُر ِه َي الٌه
َوا َٗ ْسَت
ًه
ِ
ْغٌِ٘ َِ َفإ
َ ٍُ َها ُٗ
ْ
َل َّ ِعٌ
َ
ْغٌِ٘ َِ َ ا َل َه « ْي َسأ
ََُ ِشَ ُع َٗ ٍْْم َفَ ال » ُْا َٗا َر ُسْ َل هَّللاِ َّ َها ُٗ
ْى َٗ ُ ْ َى ل
َ
ٍة ََّٗ ٍْْم
َ
ْ٘ل
َ
ّْ ل
َ
ٍة
َ
ْ٘ل
َ
َّل
“Barangsiapa meminta-minta, padahal dia memiliki sesuatu yang mencukupinya, maka
sesungguhnya dia telah mengumpulkan bara api.” Mereka berkata, ”Wahai Rasulullah,
bagaimana ukuran mencukupi tersebut?” Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,
”Seukuran makanan yang mengenyangkan untuk sehari-semalam. [9]”[10]
Dari syarat di atas menunjukkan bahwa kepala keluarga wajib membayar zakat fithri orang yang
ia tanggung nafkahnya.[11] Menurut Imam Malik, ulama Syafi‟iyah dan mayoritas ulama, suami
bertanggung jawab terhadap zakat fithri si istri karena istri menjadi tanggungan nafkah
suami.[12]
Kapan Seseorang Mulai Terkena Kewajiban Membayar Zakat Fithri?
Seseorang mulai terkena kewajiban membayar zakat fithri jika ia bertemu terbenamnya matahari
di malam hari raya Idul Fithri. Jika dia mendapati waktu tersebut, maka wajib baginya membayar
zakat fithri. Inilah yang menjadi pendapat Imam Asy Syafi‟i.[13] Alasannya, karena zakat fithri
berkaitan dengan hari fithri, hari tidak lagi berpuasa. Oleh karena itu, zakat ini dinamakan
demikian (disandarkan pada kata fithri) sehingga hukumnya juga disandarkan pada waktu fithri
tersebut.[14]
Misalnya, apabila seseorang meninggal satu menit sebelum terbenamnya matahari pada malam
hari raya, maka dia tidak punya kewajiban dikeluarkan zakat fithri. Namun, jika ia meninggal
satu menit setelah terbenamnya matahari maka wajib baginya untuk mengeluarkan zakat fithri.
Begitu juga apabila ada bayi yang lahir setelah tenggelamnya matahari maka tidak wajib
dikeluarkan zakat fithri darinya, tetapi dianjurkan sebagaimana terdapat perbuatan dari Utsman
bin „Affan yang mengeluarkan zakat fithri untuk janin. Namun, jika bayi itu terlahir sebelum
matahari terbenam, maka zakat fithri wajib untuk dikeluarkan darinya.
Bentuk Zakat Fithri
Bentuk zakat fithri adalah berupa makanan pokok seperti kurma, gandum, beras, kismis, keju
dan semacamnya. Inilah pendapat yang benar sebagaimana dipilih oleh ulama Malikiyah,
Syafi‟iyah, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu‟ Fatawa. Namun hal ini diselisihi
oleh ulama Hanabilah yang membatasi macam zakat fithri hanya pada dalil (yaitu kurma dan
gandum). Pendapat yang lebih tepat adalah pendapat pertama, tidak dibatasi hanya pada
dalil.[15]Perlu diketahui bahwa Nabi shallallahu „alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri dengan satu
sho‟ kurma atau gandum karena ini adalah makanan pokok penduduk Madinah. Seandainya itu
bukan makanan pokok mereka tetapi mereka mengkonsumsi makanan pokok lainnya, tentu
beliau shallallahu „alaihi wa sallam tidak akan membebani mereka mengeluarkan zakat fithri
yang bukan makanan yang biasa mereka makan. Sebagaimana juga dalam membayar kafaroh
diperintahkan seperti ini. Allah Ta‟ala berfirman,
ُِْل٘ ُ ْن
َ
ْط ِع ُوْ َى
ّْ َس ِ َها تُ
َ
َه َسا ِك٘ َي ِه ْي
ْط َعا ُم َع َ َرِة
ِ
ا َرتَُُ
ه
َف َ ف
“Maka kafaroh (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari
makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu.” (QS. Al Maidah: 89). Zakat fithri pun
merupakan bagian dari kafaroh karena di antara tujuan zakat ini adalah untuk menutup kesalahan
karena berkata kotor dan sia-sia.[16]
Ukuran Zakat Fithri
Para ulama sepakat bahwa kadar wajib zakat fithri adalah satu sho‟ dari semua bentuk zakat
fithri kecuali untuk qomh (gandum) dan zabib (kismis) sebagian ulama membolehkan dengan
setengah sho‟.[17] Dalil dari hal ini adalah hadits Ibnu „Umar yang telah disebutkan bahwa zakat
fithri itu seukuran satu sho‟ kurma atau gandum. Dalil lainnya adalah dari Abu Sa‟id Al Khudri
radhiyallahu „anhu, ia mengatakan,
ّْ
َ
ٍر ،
ّْ َصا ًعا ِه ْي َش ِع٘
َ
ٍر ،
ّْ َصا ًعا ِه ْي َت ْو
َ
ٍم ،
َصا ًعا ِه ْي َط َعا
َ
ن
ه
ْ٘ َِ َّ َسل
َ
هٔ هَّللاُ َعل
ِ ِّٖ َصل
ا ًُ ْع ِط٘ َِا ِفٖ َز َه ِي الٌه
ُكٌه
٘ ٍي
ِ
َصا ًعا ِه ْي َز
“Dahulu di zaman Nabi shallallahu „alaihi wa sallam kami menunaikan zakat fithri berupa 1
sho‟ bahan makanan, 1 sho‟ kurma, 1 sho‟ gandum atau 1 sho‟ kismis.”[18] Dalam riwayat lain
disebutkan,
ٍ ِ
َ
ّْ َصا ًعا ِه ْي
َ
“Atau 1 sho‟ keju.”[19]
Satu sho‟ adalah ukuran takaran yang ada di masa Nabi shallallahu „alaihi wa sallam. Para
ulama berselisih pendapat bagaimanakah ukuran takaran ini. Lalu mereka berselisih pendapat
lagi bagaimanakah ukuran timbangannya.[20] Satu sho‟ dari semua jenis ini adalah seukuran
empat cakupan penuh telapak tangan yang sedang[21]. Ukuran satu sho‟ jika diperkirakan
dengan ukuran timbangan adalah sekitar 3 kg.[22] Ulama lainnya mengatakan bahwa satu sho‟
kira-kira 2,157 kg.[23] Artinya jika zakat fithri dikeluarkan 2,5 kg, sudah dianggap sah. Wallahu
a‟lam.
Bolehkah Mengeluarkan Zakat Fithri dengan Uang?
Ulama Malikiyah, Syafi‟iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa tidak boleh menyalurkan zakat
fithri dengan uang yang senilai dengan zakat. Karena tidak ada satu pun dalil yang menyatakan
dibolehkannya hal ini. Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bolehnya zakat fithri diganti
dengan uang.
Pendapat yang tepat dalam masalah ini adalah tidak bolehnya zakat fithri dengan uang
sebagaimana pendapat mayoritas ulama.
Abu Daud mengatakan,ْس َو ُع
َ
ًَا
َ
ْح َو َ َّ
َ
ن
ْع ِ ٘ َ ِا : ِطٖ َ َرا َُِ
ُ
ْط ِر -
ِف
ْ
ِة َر ُسْ ِل َ : َٗ - ا َل ْعٌِٖ ِفٖ َصَ َ ِة ال
ْى ََ ُٗ ْج ِسَئَُ ِ َ ُف ُسٌه
َ
َ ا ُف
َ
َ
ن
ه
ْ٘ َِ َّ َسل
َ
هٔ هَّللاُ َعل
هَّللاِ َصل
.
“Imam Ahmad ditanya dan aku pun menyimaknya. Beliau ditanya oleh seseorang, “Bolehkah
aku menyerahkan beberapa uang dirham untuk zakat fithri?” Jawaban Imam Ahmad, “Aku
khawatir seperti itu tidak sah. Mengeluarkan zakat fithri dengan uang berarti menyelisihi
perintah Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam”.
Abu Tholib berkata berkata bahwa Imam Ahmad berkata padanya,
َوَتَُ
ََ ُٗ ْع ِطٖ ِ ٘
“Tidak boleh menyerahkan zakat fithri dengan uang seharga zakat tersebut.”
Dalam kisah lainnya masih dari Imam Ahmad,
ن ََُ
َ
ِ ٘ َ ل :
ه
ْ٘ َِ َّ َسل
َ
هٔ هَّللاُ َعل
َو ِة ، َ ا َل َٗ َ ُعْ َى َ ْْ َل َر ُسْ ِل هَّللاِ َصل
٘ ِ
ْ
ال
ِ
ُ
ُ ل
ْ
ِس َكا َى َٗأ
ِسٗ
َع
ْ
ُْ َى ، ُع َو ُر ْ ُي َعْ ِ ال
ُْل
َ ٌْْم َٗ
ُ َ ٌى ، َ ا َل اْ ُي ُع َو َر
ُْ َى َ ا َل ف
ن ُْل
َ
: ََّٗ
ه
ْ٘ َِ َّ َسل
َ
هٔ هَّللاُ َعل
َف َر َض َر ُسْ ُل هَّللاِ َصل
“Ada yang berkata pada Imam Ahmad, “Suatu kaum mengatakan bahwa „Umar bin „Abdul „Aziz
membolehkan menunaikan zakat fithri dengan uang seharga zakat.” Jawaban Imam Ahmad,
“Mereka meninggalkan sabda Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam, lantas mereka
mengatakan bahwa si fulan telah mengatakan demikian?! Padahal Ibnu „Umar sendiri telah
menyatakan, “Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri (dengan satu
sho‟ kurma atau satu sho‟ gandum ...).[24]” Allah Ta‟ala berfirman (yang artinya), “Ta‟atlah
kepada Allah dan Rasul-Nya.”[25] Sungguh aneh, segolongan orang yang menolak ajaran Nabi
shallallahu „alaihi wa sallam malah mengatakan, “Si fulan berkata demikian dan
demikian”.”[26]
Syaikh „Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (pernah menjabat sebagai Ketua Al Lajnah Ad
Daimah lil Buhuts Al „Ilmiyyah wal Ifta‟, Komisi Fatwa Saudi Arabia), memberikan penjelasan:
“Telah kita ketahui bahwa ketika pensyari‟atan dan dikeluarkannya zakat fithri ini sudah ada
mata uang dinar dan dirham di tengah kaum muslimin –khususnya penduduk Madinah (tempat
domisili Nabi shallallahu „alaihi wa sallam, pen)-. Namun, Nabi shallallahu „alaihi wa sallam
tidak menyebutkan kedua mata uang ini dalam zakat fithri. Seandainya mata uang dianggap sah
dalam membayar zakat fithri, tentu beliau shallallahu „alaihi wa sallam akan menjelaskan hal
ini. Alasannya, karena tidak boleh bagi beliau shallallahu „alaihi wa sallam mengakhirkan
penjelasan padahal sedang dibutuhkan. Seandainya beliau shallallahu „alaihi wa sallam
membayar zakat fithri dengan uang, tentu para sahabat –radhiyallahu „anhum- akan menukil
berita tersebut. Kami juga tidak mengetahui ada seorang sahabat Nabi shallallahu „alaihi wa
sallam yang membayar zakat fithri dengan uang. Padahal para sahabat adalah manusia yang
paling mengetahui sunnah (ajaran) Nabi shallallahu „alaihi wa sallam dan orang yang paling
bersemangat dalam menjalankan sunnahnya. Seandainya ada di antara mereka yang membayar
zakat fithri dengan uang, tentu hal ini akan dinukil sebagaimana perkataan dan perbuatan mereka
yang berkaitan dengan syari‟at lainnya dinukil (sampai pada kita.”[27]
Penerima Zakat Fithri
Para ulama berselisih pendapat mengenai siapakah yang berhak diberikan zakat fithri. Mayoritas
ulama berpendapat bahwa zakat fithri disalurkan pada 8 golongan sebagaimana disebutkan
dalam surat At Taubah ayat 60[28]. Sedangkan ulama Malikiyah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya dan Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa zakat fithri hanyalah khusus untuk fakir
miskin saja.[29] Karena dalam hadits disebutkan,
ِي
َو َسا ِك٘
ْ
ْع َو ًة ِلل
َّطُ
“Zakat fithri sebagai makanan untuk orang miskin.”
Alasan lainnya dikemukan oleh murid Ibnu Taimiyah, yaitu Ibnu Qayyim Al Jauziyah. Beliau
rahimahullah menjelaskan, “Nabi shallallahu „alaihi wa sallam memberi petunjuk bahwa zakat
fithri hanya khusus diserahkan pada orang-orang miskin dan beliau sama sekali tidak
membagikannya pada 8 golongan penerima zakat satu per satu. Beliau pun tidak memerintahkan
untuk menyerahkannya pada 8 golongan tersebut. Juga tidak ada satu orang sahabat pun yang
melakukan seperti ini, begitu pula orang-orang setelahnya.”[30] Pendapat terakhir ini yang lebih
tepat, yaitu zakat fithri hanya khusus untuk orang miskin.
Waktu Pengeluaran Zakat Fithri
Perlu diketahui bahwa waktu pembayaran zakat fithri ada dua macam: (1) waktu afdhol yaitu
mulai dari terbit fajar pada hari „idul fithri hingga dekat waktu pelaksanaan shalat „ied; (2) waktu
yang dibolehkan yaitu satu atau dua hari sebelum „ied sebagaimana yang pernah dilakukan oleh
Ibnu Umar.[31]
Yang menunjukkan waktu afdhol adalah hadits Ibnu „Abbas radhiyallahu „anhuma, ia berkata,
ِه َي ال هصَ َ ا ِا
ِِ َٔ َصَ َ ةٌ
ه ا َُا َ ْع َ ال هص َ ِة َف
َ
َّ َه ْي
َةٌ
ُْل
ْ
َه
ِِ َٔ َز َكاةٌ
ه ا َُا َ ْ َ ال هص َ ِة َف
َ
َه ْي
.
“Barangsiapa yang menunaikan zakat fithri sebelum shalat maka zakatnya diterima dan
barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di
antara berbagai sedekah.”[32]
Sedangkan dalil yang menunjukkan waktu dibolehkan yaitu satu atau dua hari sebelum adalah
disebutkan dalam shahih Al Bukhari,
ِي َّ - َكا َى اْ ُي ُع َو َر
ّْ َٗ ْْ َهْ٘
َ
َ٘ ٍْْم
ْط ِر ِ
لِف
ْ
ًَُْ َِا ، َّ َكاًُْا ُٗ ْعطُْ َى َ ْ َ ا
َ ل
ْ
ِلٗ َي َٗ
ه
رضٔ َّللا عٌِوا - ُٗ ْع ِط٘ َِا ال
“Dan Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma memberikan zakat fithri kepada orang-orang yang
berhak menerimanya dan dia mengeluarkan zakatnya itu sehari atau dua hari sebelum hari
Raya 'Idul Fithri.”[33]
Ada juga sebagian ulama yang membolehkan zakat fithri ditunaikan tiga hari sebelum „Idul
Fithri. Riwayat yang menunjukkan dibolehkan hal ini adalah dari Nafi‟, ia berkata,
ّْ َ َ َ ٍة
َ
ِي
َ٘ ْْ َهْ٘
ِ
ْط ِر
ِف
ْ
َ ْ َ ال
ٍُ َ
ْ
ِلٕ تُ ْج َو ُع ِعٌ
ه
َٔ ال
ل
ِ
ْط ِر
ِف
ْ
َس َكاِة ال
ِ
ْ َي ُع َو َر َكا َى َْٗ َع ُث
هَّللاِ
هى َعْ َ
َ
“‟Abdullah bin „Umar memberikan zakat fitrah atas apa yang menjadi tanggungannya dua atau
tiga hari sebelum hari raya Idul Fitri.”[34]
Sebagian ulama berpendapat bahwa zakat fithri boleh ditunaikan sejak awal Ramadhan. Ada
pula yang berpendapat boleh ditunaikan satu atau dua tahun sebelumnya.[35] Namun pendapat
yang lebih tepat dalam masalah ini, dikarenakan zakat fithri berkaitan dengan waktu fithri (Idul
Fithri), maka tidak semestinya diserahkan jauh hari sebelum hari fithri. Sebagaimana pula telah
dijelaskan bahwa zakat fithri ditunaikan untuk memenuhi kebutuhan orang miskin agar mereka bisa bersuka ria di hari fithri. Jika ingin ditunaikan lebih awal, maka sebaiknya ditunaikan dua
atau tiga hari sebelum hari „ied.
Ibnu Qudamah Al Maqdisi mengatakan, “Seandainya zakat fithri jauh-jauh hari sebelum „Idul
Fithri telah diserahkan, maka tentu saja hal ini tidak mencapai maksud disyari‟atkannya zakat
fithri yaitu untuk memenuhi kebutuhan si miskin di hari „ied. Ingatlah bahwa sebab
diwajibkannya zakat fithri adalah hari fithri, hari tidak lagi berpuasa. Sehingga zakat ini pun
disebut zakat fithri. ... Karena maksud zakat fithri adalah untuk mencukupi si miskin di waktu
yang khusus (yaitu hari fithri), maka tidak boleh didahulukan jauh hari sebelum waktunya.”[36]
Bagaimana Menunaikan Zakat Fithri Setelah Shalat ‘Ied?
Barangsiapa menunaikan zakat fithri setelah shalat „ied tanpa ada udzur, maka ia berdosa. Inilah
yang menjadi pendapat ulama Malikiyah, Syafi‟iyah dan Hanabilah. Namun seluruh ulama pakar
fikih sepakat bahwa zakat fithri tidaklah gugur setelah selesai waktunya, karena zakat ini masih
harus dikeluarkan. Zakat tersebut masih menjadi utangan dan tidaklah gugur kecuali dengan
menunaikannya. Zakat ini adalah hak sesama hamba yang mesti ditunaikan.[37]
Oleh karena itu, bagi siapa saja yang menyerahkan zakat fithri kepada suatu lembaga zakat,
maka sudah seharusnya memperhatikan hal ini. Sudah seharusnya lembaga zakat tersebut diberi
pemahaman bahwa zakat fithri harus dikeluarkan sebelum shalat „ied, bukan sesudahnya.
Bahkan jika zakat fithri diserahkan langsung pada si miskin yang berhak menerimanya, maka itu
pun dibolehkan. Hanya Allah yang memberi taufik.
Di Manakah Zakat Fithri Disalurkan?
Zakat fithri disalurkan di negeri tempat seseorang mendapatkan kewajiban zakat fithri yaitu di
saat ia mendapati waktu fithri (tidak berpuasa lagi). Karena wajibnya zakat fithri ini berkaitan
dengan sebab wajibnya yaitu bertemu dengan waktu fithri.[38]
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com
Publish artikelassunnah.blogspot.com
[1] Al Mawsu‟ah Al Fiqhiyah, 2/8278.
[2] Al Majmu‟, 6/103.
[3] Mughnil Muhtaj, 1/592.
[4] Lihat Al Mawsu‟ah Al Fiqhiyah, 2/8278 dan Minhajul Muslim, 230.
[5] HR. Abu Daud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini hasan.
[6] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/58.[7] HR. Bukhari no. 1503 dan Muslim no. 984.
[8] Lihat Shifat Shaum Nabi, 102.
[9] HR. Abu Daud no. 1435 dan Ahmad 4/180. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih
[10] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/80-81.
[11] Mughnil Muhtaj, 1/595.
[12] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/59.
[13] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/58.
[14] Mughnil Muhtaj, 1/592.
[15] Shahih Fiqh Sunnah, 2/82.
[16] Lihat Majmu‟ Al Fatawa, 25/69.
[17] Lihat Al Mawsu‟ah Al Fiqhiyah, 2/8284.
[18] HR. Bukhari no. 1508 dan Muslim no. 985.
[19] HR. Bukhari no. 1506 dan Muslim no. 985.
[20] Lihat Al Mawsu‟ah Al Fiqhiyah, 2/8286.
[21] Lihat Al Qomush Al Muhith, 2/298.
[22] Lihat Majmu‟ Fatawa Ibnu Baz, 14/202.
[23] Lihat pendapat Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah, 2/83.
[24] HR. Bukhari no. 1503 dan Muslim no. 984.
[25] QS. An Nisa‟ ayat 59.
[26] Lihat Al Mughni, 4/295.
[27] Majmu‟ Fatawa Ibnu Baz, 14/208-211
[28] Allah Ta‟ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk
orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan
untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah,
dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. At Taubah: 60).
[29] Lihat Al Mawsu‟ah Al Fiqhiyah, 2/8287.
[30] Zaadul Ma‟ad, 2/17.[31] Lihat Minhajul Muslim, 231.
[32] HR. Abu Daud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini hasan.
[33] HR. Bukhari no. 1511.
[34] HR. Malik dalam Muwatho‟nya no. 629 (1/285).
[35] Lihat pendapat berbagai ulama dalam Al Mawsu‟ah Al Fiqhiyah, 2/8284 dan Al Mughni,
5/494.
[36] Al Mughni, 4/301.
[37] Lihat Al Mawsu‟ah Al Fiqhiyah, 2/8284.
[38] Misalnya, seseorang yang kesehariannya biasa di Jakarta, sedangkan ketika malam Idul
Fithri ia berada di Yogyakarta, maka zakat fithri tersebut ia keluarkan di Yogyakarta karena di
situlah tempat ia mendapati hari fithri. Lihat Al Mawsu‟ah Al Fiqhiyah, 2/8287.
Diupload oleh: artikelassunnah.blogspot.com